Malam yang dingin di Kota Malang, Jawa Timur. Jalan basah setelah diguyur hujan deras sejak sore. Saya bergegas menuju Jalan Ijen, sebuah kawasan yang dikenal dengan Boulevard Ijen, untuk berburu makanan khas Malang tempo dulu. Dalam acara Festival Malang Kembali IV, yang berlangsung mulai Rabu lalu hingga Ahad pekan depan, selain budaya zaman dulu, disajikan makanan.
Di depan warung Ba-be, saya membaca menu masakan yang ditulis pada selembar karung goni. Belum selesai membaca, Juni Wendyanto, salah satu staf marketing warung Ba-be, mempersilakan saya masuk. Seakan bisa membaca pikiran saya, Juni, yang mengenakan pakaian era kolonial, berkata, "Di sini ada makanan tempo dulu," katanya sembari tersenyum.
Saya masuk dan memilih tempat duduk di pojok. Di atas meja kuno yang terbuat dari kayu sudah terhidang kudapan ringan tempo dulu. Ada emput (tepung jagung), yang dibungkus dengan kertas minyak. Ada juga marning (jagung goreng) dan keripik pisang. Semua ditempatkan dalam stoples kuno.
Juni menyarankan saya memilih quesadilas, sejenis lumpia yang kerap dijadikan kudapan pada sore hari oleh orang Belanda. Makanan ini, terbuat dari campuran ayam, bambang bombay, dan paprika hijau, dibungkus dengan tepung tartila. Semua bahan ini digoreng dengan sedikit minyak.
Tak sampai lima menit, sepiring quesadilas terhidang di hadapan saya. Terdiri atas empat potong, kue ini disajikan dengan tiga macam pilihan saus. Ada saus tomato salsa, saus kuah gamole, dan saus saur cream. Hm... rasanya gurih dan terasa kasat di lidah.
Menurut Juni, makanan ini sangat disukai bule yang berkunjung ke warung Ba-be di Jalan Raya Beji, Kota Batu, 15 kilometer dari Jalan Ijen. "Ini menjadi menu andalan warung Ba-be," ujarnya. Sepiring quesadilas dihargai Rp 12 ribu.
Dari stan warung Ba-be, saya menyusuri Jalan Ijen ke arah selatan. Belum sampai 50 meter, saya mencium bau harum roti. Tengok kanan-kiri, saya menemukan sumber bau: stan warung De Koek, yang sedang memasak kue stroopwafel. "Ini kue Belanda," kata Dina, pemilik De Koek.
Kue stroopwafel dibuat dari tepung, telur, dan cokelat karamel, yang didatangkan langsung dari Belanda. Kue ini bentuknya seperti opak gambir. Pipih dengan diameter 10 sentimeter dan 7,5 sentimeter. Dua potong kue ditangkupkan dengan strop cokelat karamel di tengahnya. Rasanya legit dan aroma karamelnya sangat kuat.
Stroopwafel tak hanya dijual pada Festival Malang Kembali. Sehari-hari, kue ini bisa dibeli di Laila Fruitmarket di Kota Malang dan kedai kopi Java Dancer Coffee di Jalan Kahuripan, Kota Malang. Kue ini biasanya disantap sebagai pendamping minum kopi. Harganya berkisar Rp 3.000 per potong.
Dari warung De Koek, saya menuju deretan penjual makanan tradisional. Saya ingin menikmati orem-orem. Ini adalah sayuran dari tempe. Di warung Sederhana, saya menemukannya. Orem-orem mirip kuah opor, tapi lebih encer, berwarna kuning, dan ada sedikit kulit atau tulang ayam sebagai penyedap. Isi kuah adalah tempe yang diiris kecil-kecil, lontong, dan sedikit taoge. Makanan ini enak dimakan dengan ayam atau telur asin. Agar lebih nikmat, saya menambahkan kecap dan sambal. Harganya Rp 6.000 per porsi.
Ada banyak ragam orem-orem. Selain tempe, ada yang menambahkan tahu dan sayur labu di dalamnya. Tempe, tahu, dan sayur ada yang diiris kecil-kecil, ada pula yang dipotong agak besar. Meski isinya beragam, bumbu orem-orem hampir semua memakai rempah-rempah.
Jumlah penjual orem-orem di Kota Malang tinggal sedikit. Salah satunya Alex Suprapto, yang berjualan di Jalan Blitar. Di warung ini, orem-orem bisa dinikmati dengan ayam atau telur asin dengan harga Rp 6.000 per porsi.
Puas menikmati kudapan dan makanan, saya menuju arena jajanan anak-anak sebagai oleh-oleh. Saya mengincar gulali dan arbanat. Gulali terbuat dari gula yang dikeraskan. Untuk mengambil gulali ini, sepotong bambu kecil digunakan untuk mencolek gulali yang ditaruh pada sebuah nampan. Cara memakannya dengan dikulum laiknya permen. Harganya cukup murah: Rp 1.000.
Arbanat juga terbuat dari gula. Bedanya, ada yang terbuat dari gula pasir, ada pula yang terbuat dari gula tebu. Bentuk jajanan ini seperti kue kembang gula. Hanya, teksturnya agak lembut. Harga setangkup arbanat hanya Rp 2.000.
Kawasan Jalan Ijen sepanjang 750 meter penuh sesak. Pengunjung Festival Malang Kembali IV terus mengalir. Dari kejauhan, sebuah kidung ludruk mengalun. Saya pun teringat masa kecil. Menonton ludruk sambil mengulum gulali.
RESEP:
1. Quesadilas: terbuat dari campuran ayam, bambang bombay, dan paprika hijau yang dibungkus dengan tepung tartila. Semua bahan ini digoreng dengan sedikit minyak.
2. Orem-orem: tempe diiris kecil-kecil, lontong, tahu, sayur labu, dan sedikit taoge serta sedikit kulit atau tulang ayam sebagai penyedap.
MENU DAN HARGA:
Sepiring quesadilas Rp 12 ribu
Orem-orem Rp 6.000 per porsi
Arbanat Rp 2.000
Gulali Rp 1.000
Di depan warung Ba-be, saya membaca menu masakan yang ditulis pada selembar karung goni. Belum selesai membaca, Juni Wendyanto, salah satu staf marketing warung Ba-be, mempersilakan saya masuk. Seakan bisa membaca pikiran saya, Juni, yang mengenakan pakaian era kolonial, berkata, "Di sini ada makanan tempo dulu," katanya sembari tersenyum.
Saya masuk dan memilih tempat duduk di pojok. Di atas meja kuno yang terbuat dari kayu sudah terhidang kudapan ringan tempo dulu. Ada emput (tepung jagung), yang dibungkus dengan kertas minyak. Ada juga marning (jagung goreng) dan keripik pisang. Semua ditempatkan dalam stoples kuno.
Juni menyarankan saya memilih quesadilas, sejenis lumpia yang kerap dijadikan kudapan pada sore hari oleh orang Belanda. Makanan ini, terbuat dari campuran ayam, bambang bombay, dan paprika hijau, dibungkus dengan tepung tartila. Semua bahan ini digoreng dengan sedikit minyak.
Tak sampai lima menit, sepiring quesadilas terhidang di hadapan saya. Terdiri atas empat potong, kue ini disajikan dengan tiga macam pilihan saus. Ada saus tomato salsa, saus kuah gamole, dan saus saur cream. Hm... rasanya gurih dan terasa kasat di lidah.
Menurut Juni, makanan ini sangat disukai bule yang berkunjung ke warung Ba-be di Jalan Raya Beji, Kota Batu, 15 kilometer dari Jalan Ijen. "Ini menjadi menu andalan warung Ba-be," ujarnya. Sepiring quesadilas dihargai Rp 12 ribu.
Dari stan warung Ba-be, saya menyusuri Jalan Ijen ke arah selatan. Belum sampai 50 meter, saya mencium bau harum roti. Tengok kanan-kiri, saya menemukan sumber bau: stan warung De Koek, yang sedang memasak kue stroopwafel. "Ini kue Belanda," kata Dina, pemilik De Koek.
Kue stroopwafel dibuat dari tepung, telur, dan cokelat karamel, yang didatangkan langsung dari Belanda. Kue ini bentuknya seperti opak gambir. Pipih dengan diameter 10 sentimeter dan 7,5 sentimeter. Dua potong kue ditangkupkan dengan strop cokelat karamel di tengahnya. Rasanya legit dan aroma karamelnya sangat kuat.
Stroopwafel tak hanya dijual pada Festival Malang Kembali. Sehari-hari, kue ini bisa dibeli di Laila Fruitmarket di Kota Malang dan kedai kopi Java Dancer Coffee di Jalan Kahuripan, Kota Malang. Kue ini biasanya disantap sebagai pendamping minum kopi. Harganya berkisar Rp 3.000 per potong.
Dari warung De Koek, saya menuju deretan penjual makanan tradisional. Saya ingin menikmati orem-orem. Ini adalah sayuran dari tempe. Di warung Sederhana, saya menemukannya. Orem-orem mirip kuah opor, tapi lebih encer, berwarna kuning, dan ada sedikit kulit atau tulang ayam sebagai penyedap. Isi kuah adalah tempe yang diiris kecil-kecil, lontong, dan sedikit taoge. Makanan ini enak dimakan dengan ayam atau telur asin. Agar lebih nikmat, saya menambahkan kecap dan sambal. Harganya Rp 6.000 per porsi.
Ada banyak ragam orem-orem. Selain tempe, ada yang menambahkan tahu dan sayur labu di dalamnya. Tempe, tahu, dan sayur ada yang diiris kecil-kecil, ada pula yang dipotong agak besar. Meski isinya beragam, bumbu orem-orem hampir semua memakai rempah-rempah.
Jumlah penjual orem-orem di Kota Malang tinggal sedikit. Salah satunya Alex Suprapto, yang berjualan di Jalan Blitar. Di warung ini, orem-orem bisa dinikmati dengan ayam atau telur asin dengan harga Rp 6.000 per porsi.
Puas menikmati kudapan dan makanan, saya menuju arena jajanan anak-anak sebagai oleh-oleh. Saya mengincar gulali dan arbanat. Gulali terbuat dari gula yang dikeraskan. Untuk mengambil gulali ini, sepotong bambu kecil digunakan untuk mencolek gulali yang ditaruh pada sebuah nampan. Cara memakannya dengan dikulum laiknya permen. Harganya cukup murah: Rp 1.000.
Arbanat juga terbuat dari gula. Bedanya, ada yang terbuat dari gula pasir, ada pula yang terbuat dari gula tebu. Bentuk jajanan ini seperti kue kembang gula. Hanya, teksturnya agak lembut. Harga setangkup arbanat hanya Rp 2.000.
Kawasan Jalan Ijen sepanjang 750 meter penuh sesak. Pengunjung Festival Malang Kembali IV terus mengalir. Dari kejauhan, sebuah kidung ludruk mengalun. Saya pun teringat masa kecil. Menonton ludruk sambil mengulum gulali.
RESEP:
1. Quesadilas: terbuat dari campuran ayam, bambang bombay, dan paprika hijau yang dibungkus dengan tepung tartila. Semua bahan ini digoreng dengan sedikit minyak.
2. Orem-orem: tempe diiris kecil-kecil, lontong, tahu, sayur labu, dan sedikit taoge serta sedikit kulit atau tulang ayam sebagai penyedap.
MENU DAN HARGA:
Sepiring quesadilas Rp 12 ribu
Orem-orem Rp 6.000 per porsi
Arbanat Rp 2.000
Gulali Rp 1.000
Wed Dec 29, 2010 1:23 pm by flamrozi
» Format Absensi Warga
Wed Nov 17, 2010 1:36 pm by De Dua Ka
» ATOM Distro
Sun Oct 17, 2010 11:49 pm by flamrozi
» IDUL FITRI 2010
Fri Sep 10, 2010 11:03 am by Admin
» kumpul lebaran 2010
Mon Aug 30, 2010 1:57 pm by aam fansuri
» saran (& sedikit kritik)
Thu Aug 26, 2010 10:18 pm by Admin
» karnaval kec.srono 2010
Thu Aug 12, 2010 10:31 pm by fikman
» Mesut Ozil Siap Bergabung Dengan El-Barca
Thu Aug 12, 2010 10:05 pm by fikman
» Milan Dipersilahkan Boyong Bintang Muda Benfica
Thu Aug 12, 2010 9:11 pm by flamrozi